(IL PRINCIPE-SANG PENGUASA)
Ulasan dan rangkuman diskusi Kulit Ari Buku IL PRICIPE (Machiavellisme)
Ulasan ini hanya sebuah perangsang untuk mencoba mendiskusikan lagi sebuah alternative kaidah etika politik. Aku tak akan menjelaskan secara menyeluruh, jika hal ini aku lakukan maka memerlukan ruang yang luas dalam forum halaman tulisanku. Buku ini lama kusimpan ketika pertama kali aku bergabung dengan sebuah partai Intlektual radikal people demokrati party (PRD) tahun 1998 sekitar sepuluh tahun lalu. Ada banyak yang didapat dari buku ini sebagai refrensi politisi muda. Aku hanya akan memberikan sebuah patahan-patahan halaman atau kalimat yang menurut hemat pemikiranku memberikan penjelasan-penjelasan penting dalam praktek dan fenomena yang aku temukan dilapangan, meski tentunya buku ini tak seluas Etika Gerakan kaum Revolusioner Lenin atau Das Kapital Karl Mark atau juga The Art of Sun tzu. Dan maaf jika ada yang kemungkinan menganggap ini terlalu kanan (ultra Kanan). Karena dalam lubuk hati yang dalam niat menulis ini hanya keinginan membuka cakrawala Intlektual dan berbagi. Ini hanya sebuah ringkasan rangkuman kata pengantar dari M. sastrapratedja dan Frans M. Parera, selebihnya adalah kutipan lompatan yang aku tambahkan dari diskusi harian DPC Partai Indonesia Sejahtera (PIS) kota Lubuklinggau disela-sela pembentukan fraksi. Selamat mencari buku ini jika itu dianggap penting dan jika butuh kopiannya saya siap menyediakan.Terima kasih.
Rousseau sependapat dengan Machiavelli ; Bahwa kekuatan Organisasi Politik tergantung dari suatu semangat Kolektif, yang melampaui tumpukan atau berkasan semangat individu-individu didalam organisasi itu……(Aufklarung Abad XVIII-Jerman)
SANG PENGUASA
Buku Sang Penguasa ini merupakan karya filsafat politik klasik, yang aslinya ditulis dalam bahasa Italia sekitar empat abad yang lalu dengan judul Il Principe. Ketika Machiavelli, pengarang buku ini, mulai menulis pada tahun 1512, dia baru saja tersingkir dari panggung politik dalam usia empat puluh empat tahun. Butuh waktu tujuh tahun untuk menulis buku ini.
Buku ini termasuk salah satu buku yang disbut-sebut punya kontribusi dalam proses perubahan dunia seperti kita saksikan sekarang terutama dalam membangun kultur politik modern saat ini. Ulasan tentang subtansial KEKUASAAN, ketatanegaraan, organisasi Militer, dan pernyataan-pernyataan politis yang controversial dan tetap menarik perhatian dunia. Tidak mengherankan kalau buku ini sudah diterjemahkan dalam banyak bahasa dan kalangan yang luas. Namun apa yang sebenarnya yang dimaksudkan pengarang tidak seluruhnya ditangkap oleh pembaca. Machiavellianisme sebagai suatu gerakan politis untuk menerapkan ajaran-ajaran Machiavelli selama ini merupakan bukti betapa interprestasi tentang ajaran-ajran Machiavelli menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan sampai sekarang terutama dikalangan para pemikir yang mempertahankan hubungan interaktif antara moralitas dan kekuasaan.
Karena isi buku ini memang memancing timbulnya beraneka ragam interprestasi, baik berdampak negative maupun positif terhadap subtansial kekuasaan, maka dalam kata pengantar ini berisikan catatan penting yang perlu diperhatikan pembaca untuk menempatkan pemikiran-pemikiran dalam buku ini dalam konteks sejarah masyarakat barat ketika gagasan-gagasan filsafat politik ini dicetuskan untuk pertama kalinya. Catatan-catatan pengantar ini diharapkan dapat membantu kita untuk lebih memahami asumsi-asumsi politik yang terkandung dalam pernyataan-pernyataan filosofis yang diungkapkan pengarang. Dengan tingkat pemahaman semacam itu maka sesudah kita selesai membaca buku ini, evaluasi atau penilaian yang kita lakukan atas buku ini dapat dipertanggung jawabkan secara rasional, kritis, dan ilmiah serta lebih berperspektif karena memperkaya kesadaran politik.
PANTULAN KULTUR RENAISSANCE
Sementara para penguasa dalam kerajaan
Machiavelli hidup dalam suatu tradisi kekuasaan yang sudah mengalamipendobrakan legitimasi religius. Selubung gaib yang selama berabad-abad menutup wajah raja, sebagai manusia biasa menjadi wajah dewa atau wakil dunia gaib. Lalu timbul pertanyaan baru tentang KEKUASAAN , yakni atas dasar apa seseorang penguasa mempunyai wewenang untuk memberikan perintah dan menghukum, lalu bagaimana jika warga menolaknya ?. hal inilah yang coba dijelaskan dalam buku ini dengan memaparkan sekilas efek domino dari pendobrakan magis-religius dan pengaruh domino dari perang salib bagi barat. Bangsa Italia merupakan bangsa paling penting pada awal penyebarluasan cita-cita Renaissance sebagai suatu gerakan intlektual dengan semangat humanistis. Gerakan intlektual ini tumbuh sebagai suatu semangat zamannya, yang perlahan-lahan menjiwai seluruh masyarakat barat kemudian.hal ini dilakukan dengan menggali kembali akar-akar kebudayaan barat yang berasal dari Yunani dan Romawi dalam rangka napak tilas menemukan identitas diri.
PETIKAN-PETIKAN KALIMAT ATAS PANDANGAN MACHIAVELLI
Realitas Politik
Tulisan Machiavelli berisi ramalan bahwa praktek kekuasaan masa silam dan kontemporer akan diulang dan diterapkan dengan cara yang hampir sama dimasa-masa yang akan dating, karena demikianlah realitas politik. Setelah melihat tingkah laku politik masyarakat beberapa Negara Machiavelli, menyatakn bahwa kondisi kehidupan politik nyata ditandai dengan adanya semacam Anarki KEKUASAAN (dimana rakyat tidak mengakui sepenuhnya kepemimpinan sang penguasa dan golongan elit juga saling bertarung merebut kekuasaan).
Karena begitu pendeknya kesempatan untuk berkuasa, maka para penguasa sebaiknya tidak menenggelamkan dirinya dalam mewujudkan cita-cita moral dan religius, melainkan penguasa harus lihai dan secara terencana memamfaatkan keterbatasan-keterbatasan kodrat manusia, yang pada dasarnya egoistis itu.
Kekuatan yang nyata harus digunakan secara spontan : 1. Memamfaatkan legalitas konstitusional untuk melancarkan aksi-aksi politik, serta memamfaatkan bonafiditas lembaga-lembaga agama untuk membangun “public opini” bahwa penguasa adalah pendukung moralitas, untuk mendapatkan dukungan rakyat. 2. Memberikan hiburan dan pertunjukan kesenian dan kegiatan olah raga agar dapat memantau perkembangan politik dibawah. 3. bila kondisi social-politik semakin gawat karena munculnya kekuatan-kekuatan oposisi, maka diberlakukan keadaan darurat perang dan hokum-hukum peperangan.
Dalam deskripsi diatas Machiavelli ingin menunjukkan suatu inti dari permainan politik dalam negeri, yakni bahwa rakyat banyak gampang dibohongi dan dimanipulasi dukungannya lewat penampilan-penampilan Sang Penguasa secara menarik dan persuasive ; rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat, dan sangat mudah diyakini dengan apa yang mereka lihat dan saksikan secara langsung (red..semacam BLT dan Konvensasi BBM saat ini)
Akhirnya kita sampai pada sebuah kesimpulan dari tulisan realitas politik Machiavelli ini diperlihatkan pilihan utama dirinya sebagai seorang politikus praktis yang berminat pada tindakan-tindakan nyata dengan pedoman operasional yang langsung dapat diterapkan secara spontan karena sense of urgency (desakan keadaan) memaksa politikus untuk memperhatikan dan mengutamakan urutan prioritas tindakan-tindakannya
Karena itu dengan deskripsi diatas tujuan-tujuan jangka pendek praktek politik, dengan ORGANISASI mendukung tercapainya tujuan jangka pendek itu, serta saran-saran kongret tentang langkah-langkah nyata yang harus diambil baik oleh penguasa dan anggota rezimnya, maupun para anggota organisasi pendukung. Dengan saran-saran kongret dari anggota rezim dan para anggota Organisasi pendukung dengan tawaran saran-saran kongret untuk tujuan jangka pendek, maka tujuan-tujuan jangka panjang sebuah rezim (Negara) umunnya diminati oleh golongan moralis dan tentunya mereka dapat diamankan.
Politik dan Moralitas
Dengan membayangkan cita-cita dan praktek kekuasaan dari Cesare Borgia dan Paus Alexander VI, Machiavelli mengatakan bahwa tugas pemerintah yang sebenarnya adalah mempertahankan serta mengembangkan dan mengekspansikan kekuasaan, karena itu dibutuhkan kekuatan sebagai unsure integral dan elemen paling esensial dalam politik. Sehubungan dengan kepentingan dan ekspansi kekuasaan, Machiavelli berpendapat penguasa bukan personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Tindadakan tergantung dari tuntutan keadaan dan desakan situasi social.
Yang sudah menerapakan pola manajemen kekuasaan secara baru, dan memisahkan tindakan politik dari kerangka penilaian moral adalah Casare Borgia. Tindakan-tindakanya merupakan ilustrasi ideal dalam procedural yang benar untuk menegakkan kekuasaan bagi para penguasa. Ia memamfaatkan kekejaman untuk menguasai penuh sebuah wilayah, lalu setelah stabil langkah berikutnya untuk mengidealkan kekuasaannya adalah dengan menarik simpati rakyat dengan memberikan berbagai bantuan. Bagi Machiavelli antara politik dan moralitas merupakan dua bidang yang terpisah. Hal yang controversial adalah pernyataan Machiavelli menyatakan 1. dalam urusan politik tidak ada ruang untuk membicarakan moral. 2. dalam kaidah etika politik alternative Machiavelli Tujuan politik adalah memperkuat dan memperluas kekuasaan dan segala usaha untuk mensukseskan itu dibenarkan.3.Legitimasi kekuasaan membenarkan segala teknik pemanipulasian dukungan masyarakat terhadap kekuasaan yang ada (seolah membiarkan persaingan antar pemimpin mafia untuk saling berebut hegemoni kekuasaan). 4. Pemerintah yang ideal menghindari tindakan yang setengah-setengah dan karena tujuan politik lebihnya korelasi antara etika, moral, tatanegara dan tata susila, karena kenyataan dan kemungkinan yang diharapkan harus dibedakan, sehingga tidak ada nilai etisnya. Sehingga penguasa dapat saja memutuskan dan mengingkari janji-janjinya dengan rakyat.
Oleh sebab itulah Penguasa yang Mahakuasa kelihatannya dapat dilihat dari tidak suka dalam dirinya dikelilingi oleh barisan competitor, karena para diktaktor tidak suka adanya orang kuat yang lain berada disampingnya. Tetapi sebaliknya orang kuat itu secara sadar membutuhkan stimulasi dari orang kuat saingannya. Menurut Machiavelli kekuasaan yang kuat tidak cukup diperintah oleh sekelompok pemimpin berbakat “mediocre” dan tidak memamfaatkan oposisi. Negara dan kekuasaan yang kuat memerlukan oposisi yang kuat untuk menyempurnakan pola manajemen kekuasaannya, karena tujuan terakhir dari perjuangan Sang Penguasa adalah Sejarah Kemuliaan dirinya sendiri. Dan ini tidak terbantahkan.
Angkatan Bersenjata dan patriotisme
Suatu kekuasaan dan pemerintahan harus dibangun diatas dasar yang kuat, sehingga kekuasaannya stabil. Dasar stabilnya pemerintahan dan kekuasaan adalah hokum yang baik dan angkatan bersenjata yang baik pula. Namun Machiavelli menekankan tidak ada sitem hokum yang baik, kalau tidak dibangun dulu angkatan bersenjata yang baik, karena angkatan bersenjata yang baik akan menjamin sitem hokum yang baik pula.
Dalam mempertahankan kekuasaan tentunya dapat mengunakan jasa tentara asing atau bayaran, Machiavelli berpendapat tentara asing atapun bayaran tidak effektif bahkan membahayakan eksitensi kekuasan dan Negara. Stabilitas politik tidak akan tecapai dengan bantuan angkantan bersenjata asing ataupun bayaran. Karena itu ia mengusulkan dibentuknya sebuah organisasi militer secara baru. Dimana pimpinan dan anggotanya adalah pilihan dari rakyatnya sendiri. Salah satunya ditunjuk penguasa sebagai panglima dan dibatasi dengan undang-undang. Hal ini dapat menghasilakan vitalitas angkatan bersenjata yang kemudian ditularkan kepada rakyat sehingga menumbuhkan semangat patriotisme.
Machiavelli menunjukkan apa yang mungkin apa yang mungkin berada dibalik slogan patriotisme, yakni cara-cara Sang Penguasa untuk membangkitkan semangat rakyat/massa, yang memang tidak seluruhnya mampu memahami secara mendalam kompleksitas isu-isu politik dan ekonomi Negara dan Kepentingan Sang Penguasa tentunya.
Dan dalam keadaan darurat Machiavelli berdasarkan keyakinan politisnya memperkenalkan doktrin Konskripsi atau wajib militer. Dalam situasi darurat perang Lembaga pertahanan militer adalah bagian mutlak dari mesin kekuasaan Negara. Wajib militer untuk rakyat sendiri lebih effektif dari tentara bayaran atau jasa Negara asing, karena daya juangnya lebih tinggi.
Sikapnya Terhadap Agama
Factor pertama yang menyebabkan kemerosotan moral itu ialah skandal-skandal moral yang dilakukan oleh orang-orang Penguasa seperti pangeran-pangeran pada masa itu yang menyebabkan desintegrasi moral public. Hal ini dapat menyebabkan chaos dalam kehidupan beragama, dan bagaimana akan melahirkan patriotisme jika pemuka agama memberikan teladan yang jelek ?, Faktor kedua adalah salah penafsiran dan interprestasi tentang ajaran agama.
Oleh karena itu untuk mempertahankan kekuasaan, agama harus tunduk kepada Negara. Agama harus mendukung lembaga-lembaga public, agama harus menjadi sarana untuk meningkatkan samangat patriotisme. Nasionalisme harus mengantikan peranan iman dalam kerangka cita-cita religius. Lembaga-lembaga agama hanya sarana-sarana atau alat-alat yang bisa dimamfaatkan untuk menjaga tata tertib yang berlaku.
0 komentar:
Posting Komentar
untuk teman-teman yg belum punya web or blog pada bagian kolom "BERI KOMENTAR SEBAGAI" : pilih Name / URL, Kolom nama di isi sesuai nama anda dan pada kolom URL kosongkan saja, demikianlah & terima kasih atas partisifasinya